DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
FAKULTAS PERTANIAN
SEMESTER GENAP TA 2011/2012
![]() |
MATERI PERKULIAHAN
“SISTEM
PERTANIAN LAHAN KERING”
LESSON LEARN: MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI JEPANG
1. Pendahuluan
Jepang yang terletak di wilayah
Sirkum-Pasifik mempunyai keunikan karakteristik sumberdaya air (SDAi) tersendiri.
Fisiografis wilayah yang dikelilingi pegunungan yang mencakup sebagian
wilayahnya dan sungai-sungai yang pendek serta tergolong curam mengakibatkan
pola distribusi siklus air menjadi sangat unik. Keunikan karakteristik ini sangat mempengaruhi siklus hidrologi
di wilayah daerah aliran sungai (DAS). Banyaknya gunung dan bukit serta sungai
yang sempit dan curam tersebut mengakibatkan hujan yang jatuh di daerah hulu
mengalir dengan cepat ke laut dan yang terserap kedalam tanah hanya dalam
jumlah yang terbatas.
Rata-rata curah hujan di Jepang setiap tahunnya di
atas 1600 mm, yang terjadi pada musim hujan serta saat-saat typhoon antara bulan Juni-Oktober.
Faktor curah hujan yang tergolong tinggi serta tingkat kemampuan menahan air tanah yang rendah mengharuskan
pemerintah Jepang membuat bangunan penangkap/penahan air dalam jumlah besar,
mulai dari bendungan raksasa sampai ke kolam-kolam penampungan air skala mikro.
Pemerintah Jepang telah menghabiskan banyak biaya untuk pembangunan bendungan
dan kolam penampungan air dalam upayanya untuk
memaksimalkan penangkapan air hujan. Menurut hasil survey [2} dan [3]
saat ini tercatat lebih dari 2.650 dam (ketinggian >15 m) telah dibangun di
Jepang, dengan daya tampung air mencapai 26.9 milyar meter kubik. Selain dam,
embung penampung air juga banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk
mengairi lahan pertanian. Pembangunan waduk dalam jumlah besar tersebut
menempatkan Jepang sebagai negara ketiga terbesar di benua Asia dalam hal
jumlah bendungan setelah China dan India, atau peringkat pertama dalam hal
rasio antara jumlah bendungan per luas wilayah. Pembangunan bendungan dalam
jumlah besar tersebut tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air
saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pengendalian banjir, tempat
pemeliharaan ikan, rekreasi dan lain-lain
Pembangunan bendungan dan kolam penampungan air di
Jepang pada satu sisi memberi keuntungan
dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air untuk
aktivitas pertanian, industri maupun perumahan. Namun demikian terlepas dari
keuntungan tersebut pembangunan sarana tersebut juga membawa
permasalahan-permasalahan baik itu dalam kaitannya dengan pendanaan untuk
konstruksi jaringan irigasi maupun dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan (O
&P) sarana dan prasarana yang telah dibangun.
Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini
dimaksudkan untuk memaparkan kondisi
sumberdaya air di Jepang, yang mencakup aspek distribusi penggunaan air, model O&P fasilitas air serta
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan bangunan air tersebut.
2. Distribusi
Penggunaan Air
Tinggi rendahnya tingkat konsumsi
air masyarakat sangat berkorelasi dengan
kondisi sosial-ekonomi masyarakat tersebut. Seperti negara-negara lain, tingkat
penggunaan air di Jepang mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan
penggunaan air di belahan dunia lainnya, dimana porsi terbesar dari alokasi air
di berikan ke sektor pertanian.
Berdasarkan hasil survei tahun 1998 jumlah air
tersedia setiap tahunnya berkisar antara 150-200 miliar meter kubik, dimana
lebih dari 60 % dipakai untuk mengairi lahan pertanian, sedangkan sisanya
masing-masing sebesar 15 % dan 18 % dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
domestik dan industri [4]. Dengan tingkat penggunaan air perkapita penduduk
mencapai 3.393 meter kubik pertahunnya, atau setengah dari rata-rata potensi
air perkapita dunia yang mencapai 7.045 meter kubik, Jepang juga dihadapkan
pada permasalahan distribusi penyebaran penduduk yang tidak merata, dimana
kesenjangan antara tingkat kepadatan penduduk di perkotaan dan di daerah
pedesaan sangat tinggi. Rata-rata kepadatan penduduk di wilayah perkotaan
sebesar 6.600 orang/km2 dan 121 orang/km2 di wilayah
pedesaan.
Adanya kecenderungan penduduk yang meninggalkan
kampung halamannya menuju kota-kota besar untuk mencari pekerjaan pada beberapa
dekade terakhir ini juga akan menimbulkan permasalahan dalam proses pendistribusian
air dimasa mendatang.
Pendistribusian air ke lahan pertanian digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan lahan sawah untuk produksi padi, tanaman sayuran/buah, dan
kebutuhan peternakan. Alokasi air untuk produksi padi menyerap sekitar 95 %
dari total air tersedia untuk pertanian. Pada tahun 1998 saja, jumlah pemakaian
air untuk proses produksi padi mencapai 56 x 109 meter kubik.
3. Distribusi Air dan Fasilitas
Pendukungnya
Aktivitas pertanian di Jepang membutuhkan sedikitnya
60 x 109 meter kubik air setiap tahunnya yang diambil dari sungai, air tanah,
dan kolam-kolam penampungan air. Ketersediaan air baik secara kualitas maupun
kuantitas lebih tersedia di wilayah pedesaan. Hal ini disebabkan karena di
wilayah pedesaan proses siklus air berjalan dengan baik sehingga ketersediaan
air senantiasa terjaga. Lain halnya di daerah perkotaan dimana air tidak
mengalami siklus perputaran air dengan baik dan terbuang percuma ke saluran
pembuangan dan mengalir ke laut.
Proses distribusi air di Jepang didukung oleh jaringan
irigasi yang mantap dengan disertai kesadaran yang tinggi dari para petani
dalam kegiatan O&P-nya. Jaringan irigasi di Jepang sebagian besar terdiri
dari line canal dimana semua struktur
salurannya dibuat dari beton dan dirancang khusus untuk tahan gempa. Secara
umum, bangunan irigasinya terdiri dari bendung yang berfungsi untuk menaikkan
air pada ketinggian tertentu untuk kemudian dialirkan ke saluran irigasi
melalui bangunan bagi.
Bangunan irigasi di Jepang juga dilengkapi dengan
sarana drainase yang berfungsi untuk membuang kelebihan air. Rancangan
fasilitas irigasi dan drainase yang sangat kokoh dan lengkap tersebut tentu
saja membawa konsekuensi pada meningkatnya jumlah saluran dan biaya konstruksi
dan pemeliharaan saluran-saluran tersebut.
Berdasarkan hasil survei keberadaan fasilitas irigasi
pada tahun 1995, didapatkan bahwa panjang saluran utama dari bangunan irigasi
di Jepang tercatat sebesar 40.000 km, dan apabila saluran tersier ikut
dimasukkan menjadi 400.000 km [4]. Panjang saluran tersebut tercatat tiga kali
lebih besar dari total panjang sungai di Jepang dan dua kali panjang jalan tol
negara dan jalan prefektur.
4. Manajemen
Fasilitas Irigasi
Berbeda dengan negara-negara berkembang yang kegiatan
O&P salurannya dilaksanakan oleh pemerintah, kegiatan O&P jaringan air
di Jepang diserahkan sepenuhnya kepada petani, dengan tujuan memacu kemandirian
petani dalam pengelolaan aset irigasi. Dalam implementasinya, petani di setiap
daerah (chiku) membuat organisasi
yang bertujuan mengatur dan mengelola aset yang diberi nama Land Improvement District (tochikairyouku) atau LID.
Organisasi ini, semacam perhimpunan petani pemakai air
(P3A) di Indonesia, namun cakupan tanggung jawabnya lebih luas yakni mencakup
kegiatan O&P jaringan, termasuk di dalamnya pengaturan distribusi air.
Organisasi ini telah berdiri sejak dahulu, dan seiring dengan dikeluarkannya UU
tentang perbaikan tanah/lahan memungkinkan
dilakukannya perancangan, perbaikan dan pemeliharaan aset bangunan yang ada
secara legal.
Para petani yang menjadi anggota organisasi dikenakan
kewajiban membayar iuran O&P jaringan (rata-rata sebesar 100.000 yen per
tahun), dan uang tersebut dipakai untuk menyewa LID untuk melakukan kegiatan
O&P saluran, misalnya pembersihan atau perbaikan saluran yang mengalami
kerusakan. Model kerjasama antara petani-LID sifatnya profesional, hampir sama
dengan model kerja perusahaan yang menuntut rasa tanggung jawab yang tinggi
dari para petani atas keberadaan fasilitas irigasi. Diagram alir dari kegiatan
O&P saluran antara petani dan LID disajikan pada Gambar 1.
5. Kolaborasi
LID-Petani Saat Krisis Air
Salah satu indikator bagus tidaknya kondisi suatu
sungai adalah nilai koefisien aliran sungai, dimana nilai yang rendah
menunjukkan masih bagusnya kondisi aliran sungai. Nilai koefisien aliran sungai
di Jepang tergolong agak tinggi sehingga risiko kekeringan juga besar. Selain
itu juga kadangkala kekeringan yang tidak normal datang, umumnya terjadi pada
akhir musim hujan dimana periode tersebut merupakan saat-saat padi membutuhkan
air dalam jumlah yang banyak. Pada saat yang sama kebutuhan air untuk keperluan
domestik juga meningkat pesat. Dalam situasi sulit tersebut, petani bekerjasama
dengan LID, dan mengeluarkan dana untuk proses konservasi air melalui
penggunaan air bergilir, water reuse,
dan pengecekan kebocoran saluran.
Upaya meminimalkan penggunaan air melalui penambahan
tenaga kerja untuk manajemen air berdampak
pada meningkatknya biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sebagai
contoh pada kondisi kekeringan abnormal yang terjadi pada tahun 2001, laju
konservasi air mencapai 76 % untuk penggunaan di pertanian, 50 % untuk
industry, dan 40 % untuk kebutuhan domestik, yang dilakukan di sungai Yahagi di
Aichi Prefektur. Sementara biaya yang dikeluarkan untuk mendukung program
penghematan air meningkat antara 127 sampai 183 %, dengan dana sebesar 9.72
juta Yen. Peningkatan jumlah pengeluaran
tersebut digunakan untuk keperluan
penyediaan pompa emergensi, pembuatan media informasi, dan tenaga kerja.
6. Permasalahan
Berhubungan dengan Irigasi
Jepang telah mencatat sejarah yang panjang menyangkut
penerapan sistem irigasi dalam proses produksi tanaman. Namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan
munculnya kesenjangan antara indusri dan pertanian, baik dari segi finansial
serta beban kerja.
6.1 Penurunan
Kualitas Air Pertanian Akibat Modernisasi Pertanian
Dalam periode pertumbuhan ekonomi Jepang yang sangat
pesat antara tahun 1960-1970, juga terjadi peningkatan polusi yang bersumber
dari domestik dan industri. Penggunaan bahan kimia dalam proses produksi padi
juga membawa dampak yang buruk bagi lingkungan dimana unsur nitrogen dan fosfor
buangan dari lahan pertanian mencemari sungai dan air tanah. Periode antara
1965-1975 merupakan periode dengan tingkat polusi tertinggi di Jepang, dimana
polusi menjadi permasalahan serius yang sulit ditanggulangi. Menyadari dampak
buruk aktivitas tersebut berbagai undang-undang dikeluarkan dalam periode
tersebut, misalnya undang-undang tentang kontaminasi serta penetapan kualitas
air.
6.2 Ekstensifikasi Pertanian Meningkatkan
Risiko Kerusakan Fasilitas Irigasi
Dimulai sejak era pertumbuhan ekonomi, sebenarnya
sudah mulai terlihat gap antara tingkat ketersediaan lahan dengan jumlah
petani, dimana pada satu sisi umur petani kian bertambah sementara disisi lain
tidak ada generasi penerusnya. Hal ini berdampak pada menurunnya jumlah petani
serta bertambahnya lahan yang tidak tergarap. Rasio
ketersediaan lahan dengan jumlah tenaga kerja yang rendah tersebut mengakibatkan beban kerja petani
semakin bertambah. Sebagai contoh petani yang bertugas mengelola air di daerah hulu
dari bendung yang jumlahnya berkurang akan beresiko tidak mampu mengontrol air
di bendung yang dapat membahayakan daerah-daerah dibawahnya.
Dalam kaitannya dengan biaya O&P fasilitas
irigasi, pihak pemerintah pusat/ daerah membagi distribusi pembebanan biaya
untuk pemeliharaan jaringan irigasi dengan pihak LID dengan perbandingan
proporsi 2/3 : 1/3, dimana dua per tiganya ditanggung oleh LID sementara
sisanya ditanggung oleh pemerintah pusat/daerah. Peningkatan biaya pemeliharaan
saluran seiring dengan bertambahnya umur saluran mengakibatkan meningkatnya
beban yang harus ditanggung oleh pihak LID. Sekitar 46 % dari biaya tersebut
dipakai untuk perbaikan saluran, proses pengolahan limbah 18 %, instalasi
fasilitas keselamatan jaringan 11 %, dan sisanya untuk operasi pompa/drainase
dan pembersihan gulma.
7. Pengelolaan Aset Irigasi Secara Terpadu
Keberadaan fasilitas irigasi di Jepang membawa dampak
sosial ekonomi yang luas, dimana di satu sisi keberadaan fasilitas tersebut
telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi
pertanian. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, umur teknis
bangunan irigasi juga semakin berkurang sehingga membutuhkan pembaharuan dimasa mendatang.
Selama periode 1975-1995, terjadi pembengkakan biaya
rekonstruksi fasilitas irigasi, dimana pada tahun 1975, biaya yang dikeluarkan
untuk rekonstruksi jaringan hanya sebesar 10 trilyun Yen sementara pada tahun
1995 membengkak menjadi 22 trilyun Yen. Pembengkakan biaya ini disebabkan oleh
meningkatnya potensi kerusakan jaringan irigasi seiring menuanya umur fasilitas
irigasi. Pada tahun 1995 didapatkan bahwa hanya berjumlah sekitar 60 set
jaringan yang mengalami potensi kerusakan jaringan, namun pada tahun 2005
meningkat menjadi sekitar 400 set jaringan [1].
Menyiasati permasalahan ini, pemerintah Jepang saat
ini lebih menfokuskan perhatian ke aspek
perawatan/pemeliharaan fasilitas yang ada dibandingkan membangun
fasilitas baru.
8. Penutup
Sebagai penutup dapat dikemukakan beberapa poin
penting berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air di Jepang. Adanya
kemandirian petani untuk mengelola fasilitas irigasi yang telah dibangun oleh
pemerintah menjadi salah satu kunci utama keberlanjutan sistem usahatani di
Jepang. Namun demikian terlepas dari keberhasilan tersebut usahatani di Jepang
juga dihadapkan pada permasalahan kelangkaan tenaga kerja di bidang pertanian
serta meningkatnya beban petani untuk mengelola aset irigasi yang berbiaya
tinggi. Biaya pengelolaan aset irigasi tersebut akan terus membengkak seiring
menuanya umur fasilitas tersebut.
Untuk menyiasati permasalahan tersebut, manajemen
irigasi di Jepang saat ini lebih diarahkan kepada pemeliharaan dan perawatan
aset-aset yang ada dengan disertai perbaikan efisiensi penggunaan air. Selain
itu juga dilakukan upaya rasionalisasi terhadap aset yang akan diperbaiki
dengan terlebih dahulu mempertimbangkan
tingkat keuntungan yang diperoleh terhadap biaya pengeluaran untuk
perbaikan fasilitas.
Daftar Pustaka
[1] Agricultural
Water Drainage Canal Bureau, 1995. Key agricultural water drainage canals.
[2] IJHD,
2000. Dams, water, and Energy. A statistical profile.
[3] The
World Commision on Dams, 2000. Dams and Development.
[4] The Japanese Institute of Irrigation and
Drainage (JIID), 2003: A message from Japan/Asia to the world water
discussions.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar