KEABSAHAN IJAZAH DAN
PEJABAT YANG BERWENANG MENANDATANGANI IJAZAH PERGURUAN TINGGI
Dikompilasi oleh Roddialek Pollo
(Dosen Faperta Undana Kupang dan sedang melanjutkan
studi pada PDIP FP UB Malang)
Pengertian
Pabrik Ijazah
Pabrik ijazah atau lembaga jual
gelar (bahasa Inggris: diploma mill) adalah organisasi pendidikan
yang menganugerahkan gelar akademis dan diploma tanpa harus melalui banyak studi akademis,
dan tidak diakreditasi secara resmi. Menurut kamus Webster, diploma mill
adalah "lembaga pendidikan tinggi yang beroperasi tanpa pengawasan dari
negara atau badan profesi, yang memberikan diploma palsu atau yang tidak sesuai
standar". Meski lembaga-lembaga tersebut tidak terakreditasi secara resmi,
mereka kerap mengklaim sebagai terakreditasi oleh badan pengakreditasi yang
tidak resmi, yang khusus didirikan untuk memberikan akreditasi palsu tersebut.
Ciri-ciri Pabrik Ijazah
Biasanya
lembaga jual gelar memiliki nama atau afiliasi kampus yang dimirip-miripkan
dengan lembaga resmi yang terakreditasi dan terkenal, utamanya dalam
kasus-kasus di Indonesia, universitas luar negeri. Dalam pemasarannya, biasanya
lembaga jual gelar akan mengklaim bahwa mereka "terakreditasi",
padahal, lembaga pengakreditasinya hanyalah lembaga palsu yang anggotanya
adalah kumpulan lembaga jual gelar yang lain. Seringkali mereka mengaku dikenal
oleh UNESCO, padahal UNESCO tidak berwenang untuk
memberi akreditasi dan pengenalan untuk lembaga pendidikan
tinggi.
Lembaga
jual gelar biasanya merendahkan atau meniadakan syarat-syarat yang diperlukan
untuk lulus. Meski kadang mereka mengharuskan pembelian buku, pengambilan ujian atau pekerjaan rumah, tidak ada proses belajar mengajar atau
pelaksanaan riset yang benar. Di Indonesia, lembaga jual gelar kerapkali tidak memiliki
tempat perkuliahan dan administrasi yang layak untuk sebuah perguruan tinggi,
seperti di ruko-ruko.
Banyak
lembaga jual gelar yang menawarkan kredit kualifikasi akademis berdasarkan
"pengalaman hidup". Biasanya mereka meminta pembayaran uang sekolah
sebelum pemberian ijazah dan tanpa melampirkan dokumentasi pendidikan. Ijazah
palsu ini sering digunakan untuk melamar pekerjaan atau untuk
promosi jabatan, terutama di dinas pemerintahan.
Keabsahan Ijazah
Pasal 28 ayat (3) dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi mengamanatkan bahwa: Gelar
akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri (yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan) apabila dikeluarkan
oleh: a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi;
dan/atau b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang
tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi.
Surat
Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi/Dirjen Dikti (Prof. Djoko Santoso) Nomor:
152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah menegaskan
bahwa karena pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi (PT)
di Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya
sekitar sepetujuh, maka terhitung mulai Agustus 2012: (1) untuk lulus program
Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah; (2) untuk
lulus program Magister harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal
ilmiah nasional yang diutamakan yang terakreditasi Dikti; dan (3) untuk lulus
program Doktor harus menghasilkan makalah yang diterima pada jurnal
internasional. Konsekuensi logisnya, jika seorang yang menyandang gelar doktor
di Indonesia tapi belum atau tidak memiliki publikasi hasil riset disertasinya
di jurnal internasional (yang diakui oleh Dikti), maka gelar yang bersangkutan
dianggap belum sah secara paripurna. Sebab saat ini, hampir semua PT yang
menyelenggarakan program pascasarjana (S2 dan S3) mewajibkan bukti penerimaan publikasi
hasil risetnya oleh redaksi jurnal internasional (khususnya untuk S3) sebagai
syarat utama untuk wisuda, di mana wisuda merupakan bukti de jure ("berdasarkan atau menurut hukum")
untuk seseorang secara resmi menggunakan gelar akademiknya (civil effect), sedangkan yudisium hasil
ujian disertasi ‘baru’ merupakan bukti de
facto ("pada kenyataannya atau fakta)". Dengan demikian, bagi barangsiapa
yang telah memegang ijazah doktor tapi belum atau tidak memiliki publikasi pada
jurnal internasional yang diakui Dikti, maka ijazah yang dimilikinya patut
diduga merupakan ijazah “nyaris” asli alias “masih” palsu (sesuai jiwa dari SE
Dirjen Dikti Nomor: 152/E/T/2012 di atas).
Dengan
merujuk dari kedua sumber atau referensi yuridis di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang termasuk kategori ijazah palsu adalah (1) adanya
indikasi yang kuat dengan didukung oleh fakta yang akurat bahwa
Yang Berhak menandatangani Ijazah
PLH
ataupun PLT tidak berwenang
menanda tangan ijazah karena ijazah hanya boleh diteken oleh pejabat definitif. Dalam Organisasi
dan Tata Kerja, dikenal istilah Pejabat
Pelaksana Tugas (PLT) dan Pejabat Pelaksana Harian (PLH), begitu juga di
dunia pendidikan tinggi dikenal istilah PLT dan PLH Pimpinan PT
(Rektor/Ketua/Direktur). Siapa yang boleh menjabat dan apa kewenangannya? Untuk
PTN sudah ada Permendikbud yang mengatur, untuk PTS masih bisa merujuk pada ketentuan
PP Nomor 60 Tahun 1999. Walaupun
PP ini sudah dibatalkan oleh PP Nomor 17 Tahun 2010 namun Pasal 219 PP Nomor 17 Tahun 2010 menegaskan bahwa “Pada saat Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.” Selain itu, juklaknya
termasuk pedoman statuta masing-masing PT masih hidup dan berlaku selama tidak
diatur atau dibatalkan oleh PP Nomor 17 Tahun 2010 atau produk hukum yang lebih
tinggi.
PP Nomor
60 Tahun 1999 tentang Pendidikan
Tinggi menjelaskan sejumlah hal yang berhubungan dengan topik di atas:
1. Pasal 37 ayat (2): “Bilamana Rektor berhalangan tidak tetap,
Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan akademik bertindak sebagai Pelaksana
Harian Rektor.”
2. Pasal 37 ayat (3): “Bilamana Rektor berhalangan tetap,
penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Rektor (PLT) sebelum diangkat
Rektor tetap yang baru.”
3. Pasal 61 ayat (2): “Bilamana Ketua berhalangan tidak tetap,
Pembantu Ketua bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Ketua.
4. Pasal 61 ayat (3): “Bilamana Ketua berhalangan tetap,
penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Ketua sebelum diangkat Ketua
yang baru.”
5. Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (2): “Bilamana Direktur berhalangan
tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana
Harian Direktur.
6. Pasal 89 ayat (3): “Bilamana Direktur berhalangan tetap,
penyelenggara akademi mengangkat pejabat Direktur sebelum diangkat Direktur
yang baru.”
Penjelasan:
Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2 adalah Pelaksana Harian (PLH) sedangkan Pejabat yang dimaksud di Pasal 37 ayat 3 adalah Pelaksana Tugas (PLT). Penyelenggara PTN adalah Kemdikbud sedangkan Penyelenggara PTS adalah Yayasan. Untuk melihat sampai di mana kewenangan PLT dan PLH silakan merujuk pada:
Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2 adalah Pelaksana Harian (PLH) sedangkan Pejabat yang dimaksud di Pasal 37 ayat 3 adalah Pelaksana Tugas (PLT). Penyelenggara PTN adalah Kemdikbud sedangkan Penyelenggara PTS adalah Yayasan. Untuk melihat sampai di mana kewenangan PLT dan PLH silakan merujuk pada:
1. Surat Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember
2001 tentang Tata Cara Pengangkatan PNS Sebagai Pelaksana Tugas.
2. Surat Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: K.26.3/V.5-10/99 tanggal 18 Januari
2002 tentang Tata Cara Pengangkatan PNS Sebagai Pelaksana Harian.
Setelah
membaca kedua Surat Kepala BKN di atas, maka akan jelas bahwa baik PLT maupun
PLH tidak dibenarkan menetapkan keputusan yang bersifat mengikat seperti
misalnya menetapkan surat keputusan, menandatangani ijazah, pembuatan DP3,
penjatuhan hukuman disiplin, dsb. Mereka juga tidak dibebaskan dari jabatan
definitifnya (tetap melaksanakan tugas semula), tidak membawa dampak terhadap
kepegawaian (mis Puket 1 yang menjabat sebagai PLT Ketua, jabatan Puket 1 tetap
melekat). Perbedaannya hanya terletak pada pengangkatannya, di mana PLT
diangkat dengan surat perintah oleh yang berwenang berhubung pejabat yang
bersangkutan berhalangan tetap, sedangkan PLH langsung diisi oleh pejabat yang
diatur oleh perundangan berhubung pejabat yang bersangkutan berhalangan tidak
tetap. Misalnya, Warek I/Wakil Dekan I secara otomatis menggantikan Rektor/Dekan
yang cuti.
Jika
kita belajar dari kasus yang pernah dialami oleh Universitas Indonesia (UI) pada
tahun 2012 di mana Rektor memecat sembilan orang Dekan, sehingga sekitar
9.000-an mahasiswa terancam tidak bisa menerima ijazahnya, padahal mereka telah
memenuhi semua persyaratan akademiknya; maka solusi yang diambil adalah dengan
mengangkat Pejabat Dekan (Pj Dekan) karena dipandang bahwa Pj Dekan itu lebih tinggi kewenangannya
daripada PLH sehingga yang bersangkutan berhak untuk menandatangani ijazah
mahasiswa, sebagaimana dijelaskan oleh Sianne Indriani (Kepala Kantor
Komunikasi UI) (Tempo,
3 Agustus 2012).
Saat
ini, sudah ada Permendikbud Nomor 81 Tahun 2014 yang berkaitan dengan ketertiban
penerbitan ijazah, khususnya pada Pasal 9 ayat (2): Penandatangan Ijazah dan
Transkrip Akademik yang diterbitkan oleh perguruan tinggi berbentuk: a.
Universitas/Institut dilakukan oleh Rektor dan Dekan Fakultas terkait; b.
Sekolah Tinggi dilakukan oleh Ketua dan pemimpin unit pengelola Program Studi
terkait; c. Akademi/Politeknik dilakukan oleh Direktur dan pemimpin unit
pengelola Prodi terkait; d. Akademi Komunitas dilakukan oleh Direktur. Permendikbud
dimaksud dapat diunduh di http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/09/permendikbud_tahun2014_nomor081.pdf.
Referensi:
1. UU Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi.
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Nomor: 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah.
3. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas.
Diunggah
oleh Roddialek Pollo (Rabu, 03 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar