Rabu, 24 Juni 2015



KEABSAHAN IJAZAH DAN PEJABAT YANG BERWENANG MENANDATANGANI IJAZAH PERGURUAN TINGGI
Dikompilasi oleh Roddialek Pollo
(Dosen Faperta Undana Kupang dan sedang melanjutkan studi pada PDIP FP UB Malang)

Pengertian Pabrik Ijazah
Pabrik ijazah atau lembaga jual gelar (bahasa Inggris: diploma mill) adalah organisasi pendidikan yang menganugerahkan gelar akademis dan diploma tanpa harus melalui banyak studi akademis, dan tidak diakreditasi secara resmi. Menurut kamus Webster, diploma mill adalah "lembaga pendidikan tinggi yang beroperasi tanpa pengawasan dari negara atau badan profesi, yang memberikan diploma palsu atau yang tidak sesuai standar". Meski lembaga-lembaga tersebut tidak terakreditasi secara resmi, mereka kerap mengklaim sebagai terakreditasi oleh badan pengakreditasi yang tidak resmi, yang khusus didirikan untuk memberikan akreditasi palsu tersebut.
Ciri-ciri Pabrik Ijazah
Biasanya lembaga jual gelar memiliki nama atau afiliasi kampus yang dimirip-miripkan dengan lembaga resmi yang terakreditasi dan terkenal, utamanya dalam kasus-kasus di Indonesia, universitas luar negeri. Dalam pemasarannya, biasanya lembaga jual gelar akan mengklaim bahwa mereka "terakreditasi", padahal, lembaga pengakreditasinya hanyalah lembaga palsu yang anggotanya adalah kumpulan lembaga jual gelar yang lain. Seringkali mereka mengaku dikenal oleh UNESCO, padahal UNESCO tidak berwenang untuk memberi akreditasi dan pengenalan untuk lembaga pendidikan tinggi.
Lembaga jual gelar biasanya merendahkan atau meniadakan syarat-syarat yang diperlukan untuk lulus. Meski kadang mereka mengharuskan pembelian buku, pengambilan ujian atau pekerjaan rumah, tidak ada proses belajar mengajar atau pelaksanaan riset yang benar. Di Indonesia, lembaga jual gelar kerapkali tidak memiliki tempat perkuliahan dan administrasi yang layak untuk sebuah perguruan tinggi, seperti di ruko-ruko.
Banyak lembaga jual gelar yang menawarkan kredit kualifikasi akademis berdasarkan "pengalaman hidup". Biasanya mereka meminta pembayaran uang sekolah sebelum pemberian ijazah dan tanpa melampirkan dokumentasi pendidikan. Ijazah palsu ini sering digunakan untuk melamar pekerjaan atau untuk promosi jabatan, terutama di dinas pemerintahan.
Keabsahan Ijazah
Pasal 28 ayat (3) dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan bahwa: Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan) apabila dikeluarkan oleh: a. Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang tidak terakreditasi; dan/atau b. perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi/Dirjen Dikti (Prof. Djoko Santoso) Nomor: 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah menegaskan bahwa karena pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi (PT) di Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepetujuh, maka terhitung mulai Agustus 2012: (1) untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah; (2) untuk lulus program Magister harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional yang diutamakan yang terakreditasi Dikti; dan (3) untuk lulus program Doktor harus menghasilkan makalah yang diterima pada jurnal internasional. Konsekuensi logisnya, jika seorang yang menyandang gelar doktor di Indonesia tapi belum atau tidak memiliki publikasi hasil riset disertasinya di jurnal internasional (yang diakui oleh Dikti), maka gelar yang bersangkutan dianggap belum sah secara paripurna. Sebab saat ini, hampir semua PT yang menyelenggarakan program pascasarjana (S2 dan S3) mewajibkan bukti penerimaan publikasi hasil risetnya oleh redaksi jurnal internasional (khususnya untuk S3) sebagai syarat utama untuk wisuda, di mana wisuda merupakan bukti de jure ("berdasarkan atau menurut hukum") untuk seseorang secara resmi menggunakan gelar akademiknya (civil effect), sedangkan yudisium hasil ujian disertasi ‘baru’ merupakan bukti de facto ("pada kenyataannya atau fakta)". Dengan demikian, bagi barangsiapa yang telah memegang ijazah doktor tapi belum atau tidak memiliki publikasi pada jurnal internasional yang diakui Dikti, maka ijazah yang dimilikinya patut diduga merupakan ijazah “nyaris” asli alias “masih” palsu (sesuai jiwa dari SE Dirjen Dikti Nomor: 152/E/T/2012 di atas).
Dengan merujuk dari kedua sumber atau referensi yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang termasuk kategori ijazah palsu adalah (1) adanya indikasi yang kuat dengan didukung oleh fakta yang akurat bahwa
Yang Berhak menandatangani Ijazah
PLH ataupun PLT tidak berwenang menanda tangan ijazah karena ijazah hanya boleh diteken oleh pejabat definitif. Dalam Organisasi dan Tata Kerja, dikenal istilah Pejabat Pelaksana Tugas (PLT) dan Pejabat Pelaksana Harian (PLH), begitu juga di dunia pendidikan tinggi dikenal istilah PLT dan PLH Pimpinan PT (Rektor/Ketua/Direktur). Siapa yang boleh menjabat dan apa kewenangannya? Untuk PTN sudah ada Permendikbud yang mengatur, untuk PTS masih bisa merujuk pada ketentuan PP Nomor 60 Tahun 1999. Walaupun PP ini sudah dibatalkan oleh PP Nomor 17 Tahun 2010 namun Pasal 219 PP Nomor 17 Tahun 2010 menegaskan bahwa “Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.” Selain itu, juklaknya termasuk pedoman statuta masing-masing PT masih hidup dan berlaku selama tidak diatur atau dibatalkan oleh PP Nomor 17 Tahun 2010 atau produk hukum yang lebih tinggi.
PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan sejumlah hal yang berhubungan dengan topik di atas:
1.   Pasal 37 ayat (2): “Bilamana Rektor berhalangan tidak tetap, Pembantu Rektor yang membidangi kegiatan akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Rektor.”
2.   Pasal 37 ayat (3): “Bilamana Rektor berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Rektor (PLT) sebelum diangkat Rektor tetap yang baru.”
3.   Pasal 61 ayat (2): “Bilamana Ketua berhalangan tidak tetap, Pembantu Ketua bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Ketua.
4.   Pasal 61 ayat (3): “Bilamana Ketua berhalangan tetap, penyelenggara perguruan tinggi mengangkat Pejabat Ketua sebelum diangkat Ketua yang baru.”
5.   Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (2): “Bilamana Direktur berhalangan tidak tetap, Pembantu Direktur bidang Akademik bertindak sebagai Pelaksana Harian Direktur.
6.   Pasal 89 ayat (3): “Bilamana Direktur berhalangan tetap, penyelenggara akademi mengangkat pejabat Direktur sebelum diangkat Direktur yang baru.”
Penjelasan:
Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2 adalah Pelaksana Harian (PLH) sedangkan Pejabat yang dimaksud di Pasal 37 ayat 3 adalah Pelaksana Tugas (PLT). Penyelenggara PTN adalah Kemdikbud sedangkan Penyelenggara PTS adalah Yayasan. Untuk melihat sampai di mana kewenangan PLT dan PLH silakan merujuk pada:
1.   Surat Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: K.26-20/V.24-25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tata Cara Pengangkatan PNS Sebagai Pelaksana Tugas.
2.   Surat Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: K.26.3/V.5-10/99 tanggal 18 Januari 2002 tentang Tata Cara Pengangkatan PNS Sebagai Pelaksana Harian.
Setelah membaca kedua Surat Kepala BKN di atas, maka akan jelas bahwa baik PLT maupun PLH tidak dibenarkan menetapkan keputusan yang bersifat mengikat seperti misalnya menetapkan surat keputusan, menandatangani ijazah, pembuatan DP3, penjatuhan hukuman disiplin, dsb. Mereka juga tidak dibebaskan dari jabatan definitifnya (tetap melaksanakan tugas semula), tidak membawa dampak terhadap kepegawaian (mis Puket 1 yang menjabat sebagai PLT Ketua, jabatan Puket 1 tetap melekat). Perbedaannya hanya terletak pada pengangkatannya, di mana PLT diangkat dengan surat perintah oleh yang berwenang berhubung pejabat yang bersangkutan berhalangan tetap, sedangkan PLH langsung diisi oleh pejabat yang diatur oleh perundangan berhubung pejabat yang bersangkutan berhalangan tidak tetap. Misalnya, Warek I/Wakil Dekan I secara otomatis menggantikan Rektor/Dekan yang cuti.
Jika kita belajar dari kasus yang pernah dialami oleh Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2012 di mana Rektor memecat sembilan orang Dekan, sehingga sekitar 9.000-an mahasiswa terancam tidak bisa menerima ijazahnya, padahal mereka telah memenuhi semua persyaratan akademiknya; maka solusi yang diambil adalah dengan mengangkat Pejabat Dekan (Pj Dekan) karena dipandang bahwa Pj Dekan itu lebih tinggi kewenangannya daripada PLH sehingga yang bersangkutan berhak untuk menandatangani ijazah mahasiswa, sebagaimana dijelaskan oleh Sianne Indriani (Kepala Kantor Komunikasi UI) (Tempo, 3 Agustus 2012).
Saat ini, sudah ada Permendikbud Nomor 81 Tahun 2014 yang berkaitan dengan ketertiban penerbitan ijazah, khususnya pada Pasal 9 ayat (2): Penandatangan Ijazah dan Transkrip Akademik yang diterbitkan oleh perguruan tinggi berbentuk: a. Universitas/Institut dilakukan oleh Rektor dan Dekan Fakultas terkait; b. Sekolah Tinggi dilakukan oleh Ketua dan pemimpin unit pengelola Program Studi terkait; c. Akademi/Politeknik dilakukan oleh Direktur dan pemimpin unit pengelola Prodi terkait; d. Akademi Komunitas dilakukan oleh Direktur. Permendikbud dimaksud dapat diunduh di http://www.kopertis12.or.id/wp-content/uploads/2014/09/permendikbud_tahun2014_nomor081.pdf.

Referensi:
1.   UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
2.   Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah.
3.   Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.


Diunggah oleh Roddialek Pollo (Rabu, 03 Juni 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar