Rabu, 24 Juni 2015



CARA MENERIMA KRITIK ALA ORANG NTT(?)

Cara kebanyakan orang NTT (dan Indonesia pada umumnya) dalam menerima kritik sangat unik dan spesial. Mengapa? Sebab, sebenarnya substansi/isi kritik yang disampaikan sudah dipahami dan diakui kebenarannya, tapi karena lantaran faktor gengsi dan arogan, maka mereka sungkan untuk menerimanya. Namun, biasanya secara diam-diam, mereka telah mengikuti apa dikoreksi via kritik tersebut tapi ya karena itu, gengsi dan arogan, maka mereka tidak akan mengakui dengan jiwa besar dan secara terbuka. Yang bisa menerima kritik secara terbuka dan sportif hanyalah orang-orang yang termasuk kategori pribadi yang "humble" (rendah hati), karena memang bukanlah hal yang mudah untuk dipratikkan. Bicara mudah tapi praktik, cukup sulit. Pengalaman menunjukkan bahwa kalau masih hanya karena gengsi, maka tidak terlalu bermasalah karena meski diam-diam, toh mereka akan memperhatikan kritik tersebut lalu memperbaikinya (secara diam-diam pula!).
Yang lebih sulit dan parah kalau orang tersebut juga “menderita penyakit” arogan! Dia akan merasa bahwa dia yang paling tahu, paling pintar, paling hebat, paling berpengalaman, dan paling benar (alias selalu benar!). Orang itu mungkin lupa bahwa karena kemanusiaannya, pasti ada keterbatasan atau kekurangan pada diri seseorang, sekecil apapun itu. Teladan faktual: sekali waktu beta dan beta punya anak (berumur Jourdan, 9 tahun) jalan-jalan ke suatu tampat, lalu dia melihat satu pohon (beta juga sebenarnya baru melihat pohon itu), dan dengan rasa ingin tahu yang tinggi (curiousity) seorang anak kecil, dia bertanya kepada beta: “Bapa, ini nama pohon apa?” Beta secara jujur (sebagai salah satu sikap mulia dari seorang akademisi/ilmuwan) dan lugu menjawab: “Bapa ju sonde tau namanya anak.” Lalu, respon balik dia yang membuat beta sangat terperangah: “Masak dosen pertanian sonde tau nama ini pohon.” Apalagi direspon dengan gaya lugu pula. Beta cukup kaget n “tapuku” (alias terkejut) mendengar komennya. Padahal beta sudah belajar dan menggeluti ilmu pertanian, khususnya agronomi atau ilmu tanaman, selama hampir 32 tahun! Di sini beta sadar bahwa meski beta seorang dosen pertanian, tapi sebenarnya masih terlalu banyak hal tentang ilmu pertanian/tanaman yang belum beta pahami. Buktinya, seorang anak SD Kelas IV bertanya soal yang sepele saja, beta ternyata tidak mampu menjawabnya, padahal itu merupakan domain ilmu beta. Apalagi beta mau merasa sok tahu dan arogan mengatakan pada diri sendiri bahwa beta juga tahu atau menguasai semua ilmu (politik/pemerintahan, pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, akuntansi, antariksa, transportasi, dll). Karena ilmu dan pengetahuan di dunia ini terlalu luas horizonnya. Pengalaman hanya merupakan bagian dari pengetahuan! Tambahan lagi, pengalaman kita hanya bagaikan setetes air dari "samudera" pengetahuan semesta. Begitu juga dengan ilmu yang kita kuasai. Jadi, pantaskah kita bersikap arogan dengan ilmu dan pengetahuan (pengalaman) kita yang terlalu sedikit tersebut? Semoga kita tidak seperti itu. Kalau memang ada orang yang seperti ini, maka janganlah dimarahi, dibenci apalagi dijauhi, karena “dia tidak tahu apa yang dia lakukan.” Sikap yang lebih “bijak” adalah cukup dengan "menangisi" sikap orang itu sejenak (barang 4-5 menit) lalu bergegas “membawanya dalam doa” agar ia segera siuman dan “kembali ke jalan yang benar." Semoga.(Dinoyo, 24 Juni 2015 by Dipo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar