Rabu, 11 September 2019

EVALUASI KRITIS PROSES PEMILIHAN DALAM GEREJA

EVALUASI KRITIS PROSES PEMILIHAN DALAM GEREJA
Pemilihan dalam proses bergereja itu benar bukan berbicara soal jabatan, bukan soal kekuasaan apalagi soal kemenangan-kekalahan; tetapi soal pelayanan. Ini ‘harga mati’! Hasil memang penting tapi proses juga tidak kalah pentingnya. Jika proses itu ‘cacad’ maka niscaya hasil atau produk yang dihasilkan boleh dikata ada nuansa kecacadan. Juga mesti disadari bahwa gereja yang memiliki dua jabatan penting: pelayanan dan organisasi, dari segi kuantitas lebih banyak jabatan organisasi ketimbang pelayanan. Jabatan pelayanan menunjuk kepada para presbiter (pendeta, penatua, diaken dan pengajar). Jabatan organisasi mulai dari BP, BPP, UPP dan Pengurus (kategorial, fungsional dan profesional). Oleh karena itu, mesti ada aturan main (rule of the game) dan rule of ethics or conduct, yang dicerminkan dalam berbagai aturan/hukum gerejawi yang bersifat mengatur dan mengikat. Tentunya aturan/hukum yang disusun tidak sama persis dengan hukum positif negara yang sifatnya memaksa. Gereja mengandalkan pada pendekatan ‘pastoral’ dengan berlandaskan kasih.
Namun pengabaian terhadap berbagai aturan/hukum, yang dalam penyusunannya mengorbankan begitu banyak waktu, tenaga, pikiran dan sumberdaya, bukanlah hal yang bijaksana pula. Karena hal ini akan menyebabkan instabilitas dan ‘distrust’ terhadap gereja sebagai sebuah lembaga/organisasi. Selain itu tanpa aturan yang jelas dan diterapkan secara baik dan benar, berpeluang menumbuh-suburkan kediktatoran dan otoriterisme, terutama jika organisasi berjalan tanpa didukung secara kuat oleh sejumlah aturan/hukum yang memadai. Implementasi aturan yang sah bukan soal pilihan: ‘snips or snaps’ tetapi soal kesadaran anggota gereja itu sendiri. Semoga kita tidak diskriminatif, menerapkan aturan karena ada maksud yang tidak terpuji! Sebagai contoh: Anggota (awam) gereja menerima Ketua MJ/MK/MS mesti pendeta karena itu sudah ada aturannya. Tidak ada yang menolaknya! Padahal jumlah ‘kaum awam’ jauh lebih banyak daripada presbiter (pendeta). Apalagi anggota jemaat menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang ‘terpilih-dipilih’ oleh Tuhan! Selesai dan tidak ada komentar lanjutan.
Lalu apa yang akan terjadi pada organisasi gereja jika ‘orang-orang yang terpilih-dipilih’ tersebut yang justru mengabaikan penerapan aturan/hukum gerejawi secara ‘murni dan konsekuen’? Siapa yang akan ‘mempastoralkan’ mereka? Teladan nyata: Pendeta saat berkhotbah meski dirasakan ada yang ‘kurang beres’ atau keliru namun tidak ada anggota jemaat yang akan menginterupsinya. Semua berupaya menahan diri karena itulah aturannya. Mungkin nanti di konsistori baru ada singgungan atau teguran dari presbiter yang lain. Mengapa bisa terjadi? Apakah karena anggota jemaat setuju dengan kesalahan atau kekurang-beresan tersebut? TIDAK! Hal ini bisa terjadi karena anggota jemaat tahu bahwa khotbah itu bersifat MONOLOG dan mereka cenderung mendengar apa ajaran, nasihat atau larangan yang Tuhan ingin sampaikan melalui hambaNya, ketimbang melihat BENAR-SALAH atau BERMUTU-TIDAK BERMUTU dari sebuah khotbah! Tidak dapat dibayangkan jika tiba-tiba ‘mekanisme turun temurun’ ini diubah: Anggota jemaat boleh interupsi saat pendeta berkhotbah. Pasti kacau balau suasana ibadahnya. Karena aturan/hukum tidak saja mencakup semua yang tertulis tapi juga semua yang telah diterima sebagai ‘as given’, tanpa perlu dipersoalkan lagi.
Pada sisi yang lain, memang aturan/hukum gerejawi bukanlah segala-galanya tetapi jika ia tidak ada manfaatnya, lalu untuk apa lembaga gereja begitu bekerja keras untuk menyusun dan merumuskannya bahkan dengan ‘menghamburkan’ semua hal yang telah disebutkan sebelumnya? Apakah memang aturan dibuat untuk dilanggar? Tentu saja tidak. Gereja bukanlah lembaga/organisasi yang seperti itu. Karena gereja selalu pro dengan nilai-nilai luhur dan positif bagi kemaslahatan bersama.
Jadi benar bahwa pemilihan gerejawi bukan soal menang-kalah, soal jabatan, soal kekuasaan tapi soal PELAYANAN. Memang memulai sesuatu sering terasa begitu berat tapi jika sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka akan terasa lebih enteng untuk dilaksanakan, seperti kata para cerdik-cendekia: Everything always has the first time in our life (selalu ada yang pertama dalam hidup ini). Karena jangan kita lupakan pula bahwa ‘wibawa organisasi’ ikut ditentukan oleh seberapa besar konsistensi dan komitmen kita terhadap apa yang telah kita putuskan bersama, termasuk aturan/hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, tetapi sudah diterima sebagai sebuah ‘kebiasaan’. Oleh karena itu, mau tidak mau, setuju tidak setuju, kita akan menuju salah satu muara yang bersifat ‘etis’: Kalau bukan kita (anggota gereja/organisasi) yang menegakkan aturan/hukum yang sah dan berlaku berlaku lalu menunggu siapa lagi? Kalau bukan sekarang lalu menunggu kapan lagi? (Dipo/190731)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar